
Cikande pagi itu terasa sunyi. Seorang siswi SMK berusia 16 tahun terbangun dengan hati gundah—bukan karena tugas sekolah, melainkan tanda-tanda kehamilan yang kian nyata di tubuhnya yang semestinya masih polos. Ia ingat betul sore dua tahun lalu, saat bertemu HSM, kerabat teman dekatnya, di sebuah rumah sederhana di pinggir kampung. Awalnya, obrolan santai tentang tugas sekolah; selanjutnya, undangan untuk menemaninya “belajar” di kamar kosong. Di balik pintu yang tertutup rapat, segala sesaknya mulai terjadi—buah dari kekerasan berulang yang dipaksa disimpan rapat dalam rahimnya sampai sang anak lahir.
Meski trauma mendera, keberanian akhirnya tak bisa lagi ditahan. Saat usia kandungannya memasuki trimester terakhir pada 2022, ia memberanikan diri memeriksakan diri ke bidan desa. Hasil positif itu menuntunnya pulang dengan pertanyaan tanya: mengapa rumah sendiri bisa berubah jadi tempat paling berbahaya? Dua tahun berikutnya, dukungan keluarga dan teman seperjuangan dari P2TP2A membuatnya akhirnya melaporkan seluruh derita ke Polres Serang. Sejak laporan tercatat, aparat Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) bersama tim forensik bergerak cepat: menelusuri riwayat chat, memeriksa bukti medis, dan memanggil saksi-saksi yang pernah melihat HSM memasuki rumah itu.
Di bangku sekolah, para guru terkejut—bagaimana mungkin sesiap apa pun lingkungan belajar, pelajar tetap bisa terjebak ke dalam lubang asing? Kepala sekolah lantas mengajak staf pendidik mengadakan pelatihan mendeteksi tanda psikologis siswa yang tertekan, sekaligus membuka jalur konsultasi rahasia di ruang BK. “Edukasi seksual komprehensif bukan sekadar ilmu biologi,” ujar salah satu guru BK, “tapi soal hak anak memahami batasan tubuh dan rela meminta tolong ketika merasa terancam.”
Di tingkat desa, perangkat wilayah memutar otak: kotak saran anonim dipasang di balai desa dan puskesmas sekolah, agar remaja yang takut menatap mata orang dewasa masih punya tempat bersuara. Petugas desa juga berkoordinasi dengan P2TP2A dan lembaga swadaya masyarakat, menyusun lokakarya bagi orang tua—bagaimana membangun kepercayaan agar anak-anak berani bercerita sebelum luka semakin dalam.
Kini, ketika kasus itu masih dalam proses penyidikan dan pelaku masih masuk Daftar Pencarian Orang, setiap lapisan masyarakat diimbau tak bersikap lalai. Sekolah menata kurikulum mulai dari kelas awal agar materi tentang penghormatan tubuh, persetujuan, dan tindak tanduk berbahaya dipandang sebagai hak asasi yang wajib dipahami. Di rumah, orang tua didorong membuka dialog terbuka meski terasa canggung—karena satu kalimat sederhana seperti “Ada apa, Nak?” bisa jadi pelita di kegelapan trauma.
Dari Cikande hingga kota besar manapun, kisah ini menegaskan satu hal: perlindungan remaja butuh lebih dari sekadar aturan tertulis. Ia butuh keberanian kolektif—guru yang peka, orang tua yang mendampingi, dan sistem yang tak berhenti mendengarkan. Hanya dengan begitu, ruang-ruang rapuh tak lagi menyisakan ruang bagi kejahatan untuk bersembunyi.