Sejarah mencatat bahwa memindahkan ibu kota bukan sekadar proyek pembangunan fisik, tetapi juga manifestasi ambisi seorang pemimpin untuk meninggalkan warisan abadi. Salah satu contoh paling dramatis adalah keputusan Firaun Akhenaten pada abad ke-14 SM yang memindahkan ibu kota Mesir dari Thebes ke Akhetaten. Keputusan ini bukan hanya tentang perpindahan geografis, tetapi juga sebuah upaya rekonstruksi ideologis: memusatkan pemujaan kepada Aten dan merombak tatanan sosial-politik yang telah mengakar selama berabad-abad.
Namun, sejarah juga mencatat bagaimana ambisi Akhenaten justru mempercepat kejatuhannya. Pemindahan ibu kota yang dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa dukungan penuh dari elite agama dan rakyat, menciptakan ketidakstabilan yang pada akhirnya berujung pada penghapusan seluruh jejak pemerintahannya setelah kematiannya. Kota yang ia bangun dengan susah payah ditinggalkan, dan Mesir kembali ke sistem lama yang lebih stabil. Keputusan ini mengajarkan satu hal mendasar: sebuah kota bukan hanya terdiri dari bangunan dan jalan, tetapi juga legitimasi politik, dukungan sosial, serta kesinambungan ekonomi.
Pemindahan Ibu Kota dalam Sejarah Modern: Cermin dari Akhenaten?
Dalam dunia modern, ambisi untuk memindahkan ibu kota masih terus berulang. Brasil mencoba dengan Brasília, Myanmar dengan Naypyidaw, Malaysia dengan Putrajaya, dan kini Indonesia dengan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, tidak semua eksperimen ini berjalan sukses. Naypyidaw, meskipun megah, tetap terasa seperti kota hantu karena gagal menarik populasi yang cukup. Putrajaya masih menjadi kota administratif yang belum mampu sepenuhnya menggantikan Kuala Lumpur. Bahkan Canberra, ibu kota Australia, tetap tidak mampu menandingi Melbourne atau Sydney sebagai pusat ekonomi dan sosial.
Dalam konteks ini, pemikiran David Harvey, seorang geografer kritis, menjadi relevan. Ia berpendapat bahwa ruang perkotaan bukan hanya sekadar lokasi fisik, tetapi juga arena perebutan kepentingan politik dan ekonomi. Pemindahan ibu kota yang dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan sering kali hanya memperparah ketimpangan karena investasi yang besar tidak selalu membawa dampak ekonomi yang merata. Kota-kota baru seperti Brasília atau Naypyidaw pada akhirnya lebih banyak dihuni oleh birokrat daripada menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya.
Habermas juga mengingatkan bahwa sebuah kota harus menjadi ruang publik yang memungkinkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam banyak kasus pemindahan ibu kota, perencanaan sering kali bersifat top-down—ditentukan oleh elite politik tanpa keterlibatan publik yang memadai. Akibatnya, kota-kota baru ini kehilangan aspek sosial yang membuat sebuah ibu kota bisa benar-benar berfungsi, yaitu interaksi masyarakat, sejarah, dan legitimasi budaya.
Pemindahan Ibu Kota: Antara Mimpi dan Kenyataan
Lalu, mengapa gagasan ini terus berulang meskipun banyak bukti sejarah menunjukkan kegagalannya? Jawabannya ada pada politik simbolis. Pemindahan ibu kota sering kali bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga tentang penciptaan narasi baru: seorang pemimpin yang ingin dikenang sebagai arsitek peradaban. Akhenaten mencoba dengan Akhetaten, Soekarno dengan Palangkaraya (meskipun tidak terealisasi), dan kini Indonesia dengan IKN. Semua mengusung retorika yang hampir serupa: ini bukan sekadar pemindahan kota, melainkan lompatan peradaban.
Namun, sejarah mengajarkan bahwa sebuah ibu kota tidak bisa dibangun hanya dengan niat dan beton. Ia harus memiliki ekosistem sosial yang kuat, daya tarik ekonomi yang nyata, serta diterima oleh rakyatnya. Tanpa elemen-elemen ini, sebuah ibu kota hanya akan menjadi monumen ambisi yang cepat ditinggalkan begitu kekuasaan berganti—seperti Akhetaten yang kini hanya menjadi reruntuhan di padang pasir.
Akhirnya, pertanyaan terbesar yang harus diajukan bukanlah bagaimana membangun ibu kota baru, tetapi apakah pemindahan itu benar-benar diperlukan? Jika jawabannya hanya sebatas pada ambisi politik tanpa landasan ekonomi dan sosial yang kuat, maka sejarah telah memberikan cukup banyak contoh tentang bagaimana mimpi besar ini bisa berujung menjadi sekadar legenda yang terlupakan.