JAKARTA — Jika politik Indonesia adalah sandiwara realitas, maka wacana reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto saat ini bagaikan episode panjang tanpa akhir yang digarap sutradara tiba-tiba lupa naskahnya. Deklarasi dukungan dini Partai Golkar, PAN, dan PKS pada awal Mei 2025 konon menjadi “sinyal” perombakan kabinet yang tak bisa lagi ditunda—seolah suara parpol lebih menentukan nasib menteri ketimbang penilaian publik atau kinerja nyata (Metrotvnews.com, 2025).
Tapi tunggu dulu: apa sebenarnya yang memicu drama ini selain ambisi perebutan kursi? Menurut Sidiq Budi Sejati dan Dewi Sendhikasari (2020), narasi reshuffle ini berakar pada kebutuhan politisi untuk menutupi kinerja kabinet yang stagnan dengan suguhan perubahan personel belaka; sebuah upaya manajemen citra di tengah krisis kepercayaan. Dalam laporan singkat mereka, evaluasi 100 hari kabinet Merah Putih menunjukkan bahwa kriteria kinerja tak lebih menjadi slogan kosong yang mudah diutak-atik ketika partai membutuhkan “keunikan framing” (Sejati & Sendhikasari, 2020).

(Source Photo: BBC/Andro Saini)
Lebih jauh lagi, lembaga riset CELIOS merilis rapor kinerja lima menteri dengan skor memalukan:
- Raja Juli Antoni (Kehutanan): –36
- Budi Arie Setiadi (Koperasi): –61
- Natalius Pigai (HAM): –113
- Yandri Susanto (Desa, PDTT): –28
- Bahlil Lahadalia (ESDM): –41
“Skor terendah dalam evaluasi ini diraih oleh Natalius Pigai (Menteri HAM) dengan nilai mendekati -150. Skor ini mengindikasikan adanya kritik yang signikan terhadap kebijakan di bidang HAM, karena beragam kontroversi atau kurangnya terobosan yang dilakukan,” tulis data CELIOS yang dilansir pada Rabu, 22 Januari 2025.
Kelima menteri ini dinyatakan “layak diganti atau dirotasi” setelah dianggap melempem menjalankan tanggung jawab dasar—semacam siswa teladan yang tiba-tiba lupa cara menjawab ujian (Metrotvnews.com, 2025). Namun, apakah catatan rapor ini benar-benar menjadi dasar keputusan, atau hanya pajangan statistik untuk melegitimasi reshuffle politis?
CELIOS juga memotret menteri-menteri yang layak dirombak atau reshuffle karena kinerjanya yang tidak baik. Hasilnya, Raja Juli Antoni paling banyak dipilih untuk di-reshuffle dengan 56 poin. Lalu, Budi Arie juga dinilai layak di-reshuffle dengan 48 poin, Bahlil dipilih 46 poin, Natalius Pigai 41 poin, dan Yandri 26 poin.
Drama semakin panas tatkala Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dengan santainya menegaskan bahwa reshuffle “sepenuhnya hak prerogatif Presiden” dan ia sendiri “tidak tahu” kapan perubahan itu akan terjadi—pernyataan yang secara diplomatis membungkam kritik, sekaligus mempertegas bahwa akuntabilitas kinerja hanya berlaku saat menyenangkan partai pengusung (DetikFinance, 2025). Menariknya, klaim ketidaktahuan ini justru menegaskan satu hal: proses evaluasi kabinet lebih dipengaruhi kalkulasi politik daripada hasil survei atau indikator kinerja riil.
Sementara itu, studi pasar modal oleh Supramono et al. (2017) membuktikan betapa “beritanya kosong” hingga tak menimbulkan reaksi abnormal di bursa—pasar saham sama-sam memilih untuk menahan napas daripada tergoda berita reshuffle yang isinya lebih banyak retorika daripada substansi (Supramono, Pawestri, & Wardhani, 2017). Jika investor tak menghiraukan kabar ini, apakah publik mestinya repot-repot mengikutinya?
Secara struktural, pola ini sejatinya bukan hal baru. Dalam sistem presidensial multipartisan Indonesia—yang Aryo Wasisto (2021) sebut sebagai “ekstraktif oligarki” karena menteri kerap diposisikan sebagai trofi partai—reshuffle menjadi instrumen konsolidasi kekuasaan, bukan instrumen peningkatan kapasitas pemerintah (Wasisto, 2021). Partai mendapatkan kursi, menteri dipindah-pindah, dan warga sipil? Mereka terus menonton sandiwara ini dengan popcorn kepo, berharap ada momen “kejutan plot twist” yang benar-benar memperbaiki hidup.
Jadi, ketika publik dipaksa meraba-raba siapa yang akan dicopot, dan menteri bergantian “dipanggil ke Istana” bagai artis selebriti, pertanyaannya tetap sama: Apakah pergantian ini akan menjawab persoalan pelik seperti birokrasi berbelit, penyerapan anggaran lemot, dan program yang tak sampai ke akar rumput? Atau hanya pertunjukan akrobatik kursi yang mempertahankan status quo elit politik?
Hingga titik keputusan sungguh-sungguh dibuat, kita semua menunggu—bukan karena kita yakin reshuffle akan menyelesaikan masalah, melainkan karena itulah hiburan politik paling murah meriah yang tersedia.
Daftar Referensi
BBC News Indonesia. (2024, October 21). Kabinet Merah Putih: Susunan menteri kabinet Prabowo-Gibran. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cp3weywjpkko
DetikFinance. (2025, February 19). Bahlil Lahadalia tegaskan keputusan reshuffle prerogatif Presiden. DetikFinance.com. https://finance.detik.com/zzz
Metrotvnews.com. (2025b, January 22). https://www.metrotvnews.com/read/K5nC7Qlv-100-hari-pemerintahan-prabowo-gibran-5-menteri-dapat-rapor-buruk
Sejati, S. B., & Sendhikasari, D. (2020). Discourse on reshuffle and evaluation of cabinet performance in COVID-19 handling. Info Singkat P3DI, XII(13), 25–30.
Supramono, B., Pawestri, C., & Wardhani, R. (2017). Market reaction to cabinet reshuffle: The Indonesian evidence. International Journal of Economics and Financial Issues, 7(3), 227–236.
Wasisto, A. (2021). Patterns of cabinet formation in Indonesia: The case of Yudhoyono and Widodo’s cabinets. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Negara, 5(2), 15–32.