
Ada semacam penyakit baru yang menjangkiti para pemimpin kita. Bukan korupsi, bukan pula kebodohan, melainkan sebuah kecanduan akut akan pujian dan sorotan kamera. Mereka seperti aktor yang salah panggung – mengira politik adalah ajang pencarian bakat, bukan medan pengabdian.
Di sudut kota, seorang warga tua duduk termenung di depan rumahnya yang kebanjiran untuk kesekian kalinya. Air yang keruh menggenangi lantai semen yang retak-retak. Tapi di layar ponselnya, sang walikota sedang tersenyum lebar memotong pita proyek baru, dengan caption penuh semangat tentang “pembangunan berkelanjutan”.
Di kantor dinas, para pegawai menggelengkan kepala. Anggaran untuk perbaikan drainase dipangkas, tapi dana promosi dan pembuatan konten membengkak tiga kali lipat tahun ini. “Kita disuruh kerja cepat kalau ada acara yang perlu difoto,” keluh seorang staf yang enggan disebut namanya. “Tapi laporan riil? Nanti-nanti saja.”
Di media sosial, para buzzer sibuk membangun narasi. Setiap kritik ditanggapi dengan daftar panjang pencapaian fiktif. “Lihat tuh, pak walikota paling sering blusukan!” teriak salah satu akun bayaran, sambil mengabaikan fakta bahwa kunjungan itu tak pernah sampai pada solusi nyata.
Pemimpin seperti ini ibarat petani yang sibuk mengukur tinggi tanaman palsu di depan rumahnya, sementara ladang yang sesungguhnya terbengkalai. Mereka pandai menciptakan ilusi kemajuan, tapi gagap menghadapi realitas. Setiap masalah dijawab dengan konten baru, bukan kebijakan berarti.
Yang tragis, kita sebagai rakyat mulai terbiasa dengan sandiwara ini. Terbiasa mengukur kinerja dari jumlah postingan, bukan dari kenyataan di sekitar. Terbiasa bertepuk tangan untuk pencapaian virtual, sambil mengabaikan kegagalan nyata.
Mungkin inilah zaman dimana kepemimpinan tak lagi diukur dari kedalaman pikiran, melainkan dari ketajaman filter Instagram. Di mana kebijakan penting kalah pamor dengan challenge viral. Di mana panggung lebih berharga daripada substansi.
Dan sementara para pemimpin kita sibuk berpose, banjir tetap datang. Jalan tetap berlubang. Rakyat tetap antre berjam-jam untuk layanan dasar. Tapi tak apa, karena semua itu bisa ditutupi dengan satu dua konten inspiratif yang akan viral selama beberapa hari – sebelum dilupakan lagi.
Pertanyaannya: sampai kapan kita akan terus membiarkan sandiwara ini berlangsung?