
Papan nama “Desa Wisata” berdiri di banyak sudut Jawa Timur. Hurufnya besar, catnya masih baru, kadang berdampingan dengan taman kecil hasil kerja bakti. Di bawahnya, beberapa warga duduk, menunggu kendaraan lewat. Mereka tidak sedang menunggu wisatawan—mereka menunggu apa yang sebenarnya dijanjikan oleh tulisan itu.
Program desa wisata di provinsi ini terus bertambah. Data BPS Jawa Timur 2024 mencatat lebih dari 400 desa telah masuk daftar. Tapi hanya sekitar sepertiganya yang benar-benar aktif. Sisanya berhenti di tahap pelatihan, brosur, dan laporan kegiatan. Selebihnya sunyi, kecuali ketika ada tim monitoring datang dengan kamera.
Prof. Dian Yulie Reindrawati, Dekan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga, menatap fenomena itu tanpa kaget. “Kita terlalu sibuk membangun tempatnya, lupa membangun manusianya,” ujarnya, Selasa sore, 14 Oktober 2025, di ruangannya yang rapi di kampus MERR. Kalimatnya datar, tapi nadanya mengandung ironi yang halus.
Bu Dekan bukan pejabat pariwisata. Ia guru besar pertama Fakultas Vokasi UNAIR, dengan keahlian di bidang hospitality management—ilmu tentang bagaimana manusia memperlakukan manusia. “Kita sering salah kaprah. Hospitality dianggap milik hotel. Padahal itu soal sikap, bukan gedung,” katanya.
Ia lalu mencontohkan Taman Hutan Raya R. Soerjo, kawasan konservasi di bawah Dinas Kehutanan Jawa Timur yang membentang dari Tretes hingga lereng Welirang–Arjuno. Kawasan itu bersih, jalurnya terawat, tapi hubungan dengan masyarakat sekitar belum terbangun kuat. “Warganya tahu kawasan itu bagus, tapi tidak tahu bagaimana mereka bisa ikut menjadi bagian dari sistem layanan. Mereka di luar pagar, padahal mereka yang paling dekat dengan hutan,” ujar Prof. Dian.
Dari situ muncul gagasannya: Desa Binaan Vokasi. Ia tidak ingin program baru itu sekadar deretan pelatihan, tapi ruang belajar bersama antara kampus dan masyarakat. “Fakultas Vokasi punya 19 program studi, dari perhotelan, komunikasi, hingga teknologi informasi. Semua bisa berkontribusi,” katanya. Ide itu sederhana: mahasiswa belajar dari realitas warga, dan warga belajar dari pengalaman kampus.
Bu Dekan menyebutnya sebagai bentuk people power di bidang pelayanan. “Yang ingin kita bangun bukan proyek pariwisata, tapi perilaku melayani. Kalau masyarakat bisa percaya diri dan bangga melayani dengan caranya sendiri, itu sudah perubahan besar,” ujarnya.
Ia tahu, tantangan terbesar justru datang dari sistem. Program pemerintah lebih sibuk menyiapkan laporan ketimbang menyiapkan kebiasaan. “Hospitality tidak tumbuh dari surat keputusan. Ia tumbuh dari keseharian,” katanya. Kalimat itu diucapkan tanpa nada tinggi, tapi terasa seperti sindiran.
Dalam pandangannya, keramahan adalah energi sosial yang tak bisa dibeli. Ia bukan hasil seminar, melainkan hasil interaksi yang jujur. “Kita ingin masyarakat ramah, tapi kadang kita sendiri tak punya waktu untuk menyapa,” ujarnya pelan.
Desa binaan yang diusulkannya tidak mencari hasil cepat. Ia membayangkannya seperti proses panjang: kampus mendampingi, pemerintah memfasilitasi, swasta membantu membuka jalan, dan warga menjadi tuan rumah bagi dirinya sendiri. “Kalau kita bisa menumbuhkan hospitality di satu desa, maka yang tumbuh bukan cuma ekonomi, tapi kepercayaan diri kolektif,” ujar Bu Dekan.