
Dalam episode terbaru Podcast Kios Koran yang dipandu Gagas Gayuh Aji di studio Titik Kreasi, publik dikejutkan dengan pengakuan tajam dari Ubaidillah Umar Sholeh, anggota Komisi A DPRD Jawa Timur. Bukan sekadar obrolan santai, diskusi ini justru membuka luka lama yang belum juga sembuh: masifnya penyalahgunaan narkoba di kalangan anak muda Jawa Timur, dan lemahnya sinergi penanganan antarlembaga.
“Sekitar 80 persen penghuni lapas kita hari ini adalah karena narkoba, dan mayoritas dari mereka adalah anak muda,” ujar Ubaidillah, dalam nada suara yang setengah geram, setengah khawatir. Data itu bukan rekaan. Dalam Laporan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham serta rilis beberapa Lapas di Jatim seperti Porong dan Madiun, memang terlihat bahwa dominasi narapidana kasus narkoba menempati urutan tertinggi — banyak di antaranya berasal dari rentang usia produktif: 17–35 tahun.
Ini bukan hanya soal angka. Ini soal arah generasi. Ubaidillah secara terang menyebut bahwa jika tidak ada penanganan serius dan terstruktur, Indonesia Emas 2045 bisa sekadar mimpi brosur, karena anak mudanya justru dikunci dalam sel penjara, bukan disiapkan sebagai pemimpin.
Dalam percakapan itu, ia menekankan pentingnya pola penanganan berbasis pentahelix — sinergi antara pemerintah, akademisi, media, komunitas, dan pelaku usaha. “Masalah narkoba ini tidak bisa diserahkan hanya ke polisi atau BNN. Ini soal siapa yang hadir lebih dulu di hidup anak-anak: guru, keluarga, tetangga, RT, hingga Pemprov,” tambahnya.
Ubaidillah menyinggung bahwa peran Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai eksekutif belum maksimal. “Kita ini punya banyak program, tapi siapa yang mengeksekusi? Kalau pemprov tidak gerak cepat, data-data BNN itu akan jadi sekadar peta tanpa kompas,” tukasnya. Bahkan kehadiran Gubernur atau Wakil Gubernur dalam kampanye anti-narkoba dianggap masih terlalu seremonial. “Saya lebih percaya efeknya kalau tiap SMA/SMK didampingi sistematis oleh pemprov, bukan sekadar tempel stiker ‘tolak narkoba’ di pagar sekolah.”
Podcast ini kemudian menyentuh sisi yang lebih sosial. Ubaidillah menyebut bahwa edukasi soal narkoba harus dimulai dari rumah, bukan hanya di sekolah. RT, RW, hingga takmir masjid dan forum pemuda seharusnya menjadi kanal aktif dalam menyaring arus narkoba yang masuk hingga ke kampung-kampung. “Kalau kita cuma sibuk sidak di malam minggu, tapi tidak peduli anak tetangga ngapain tiap malam, ya kita ini sekadar penjaga gawang tanpa net,” ucapnya.
Diskusi dengan Gagas Gayuh Aji ini menjadi menarik karena berhasil meramu kritik, data, dan solusi dalam tempo 30 menit yang padat. Bukan hanya menyuarakan keresahan, tapi juga memanggil kembali peran kolektif masyarakat — bahwa narkoba adalah bahaya laten, bukan tren musiman.
Karena jika hari ini kita hanya menyebut “kasus narkoba meningkat” tanpa mengubah cara bertindak, maka satu-satunya yang kita wariskan untuk generasi emas nanti adalah generasi yang tumbuh dalam diam — di balik jeruji besi.