
Surabaya — Polisi akhirnya bertindak. Di tengah lalu lintas informasi yang kian liar di media sosial, dua orang pria berinisial MKF (24 tahun) dan GR (36 tahun) ditangkap Satreskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Keduanya diduga menjadi pengelola grup Facebook yang dinamai “Gay Khusus Surabaya”, sebuah grup tertutup yang beranggotakan lebih dari 4.400 orang.
Penangkapan ini menyusul laporan masyarakat yang merasa resah dengan isi grup tersebut. Tak hanya menjadi ruang berbagi cerita, grup itu dituding sebagai tempat memperjualbelikan akses pertemuan seksual antaranggota. Dalam keterangan resmi, Kasatreskrim AKP Wahyu Hidayat menyebut bahwa konten dalam grup tersebut memuat unsur pornografi serta mengandung pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Pornografi.
“Postingannya mengandung foto dan ajakan. Bahkan dilengkapi dengan nomor kontak untuk melanjutkan komunikasi pribadi,” ujar Wahyu. Polisi juga menyita dua ponsel berisi bukti digital, termasuk tangkapan layar aktivitas dalam grup.
Dari hasil penyidikan awal, diketahui bahwa GR adalah pendiri grup, sementara MKF membantu dalam pengelolaan harian, seperti menyaring anggota baru dan menghapus komentar yang dianggap mengganggu “kenyamanan komunitas”. Namun, polisi menilai tindakan ini tidak cukup untuk menutupi dugaan aktivitas ilegal di dalamnya.
Keduanya kini dijerat dengan Pasal 27 Ayat 1 Jo Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dan Pasal 4 Ayat 1 dan 2 Jo Pasal 29 UU Pornografi. Ancaman hukumannya tidak main-main: enam hingga dua belas tahun penjara dan denda maksimal Rp6 miliar.
Namun, kasus ini juga memunculkan ruang tanya. Sebab di satu sisi, tindakan hukum diperlukan untuk menjaga ruang digital dari konten yang melanggar hukum. Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran: apakah penegakan hukum ini dilakukan semata-mata karena orientasi seksual komunitasnya?
Sejumlah pegiat hak digital dan akademisi komunikasi menilai kasus ini akan menjadi tolok ukur penting. Apakah benar penegakan hukum semata menyasar aspek pornografi dan transaksi, atau adakah bias dalam proses pemantauan ruang daring yang makin kompleks?
Terlepas dari preferensi komunitasnya, jika konten eksplisit dan transaksi seksual memang terbukti, hukum memang wajib ditegakkan. Namun, penting pula bagi aparat dan publik untuk memilah: apakah semua ruang komunitas daring lantas layak dicurigai hanya karena topik yang dianggap tabu?
Dalam era digital seperti sekarang, kasus “Gay Khusus Surabaya” bukan hanya tentang siapa yang ditangkap, tapi juga tentang bagaimana ruang privat dan ruang publik mulai bergeser batasnya. Tentang bagaimana hukum menjawab dinamika daring, dan bagaimana masyarakat menyikapi kompleksitas kebebasan, kontrol, dan etika dalam satu tarikan napas.